“Pribadi yang Sempurna dalam Kehidupan”
Sebuah refleksi/permenungan atas pribadi St. Yusuf dalam Matius 1:18-24
Oleh: Ronald Maturbongs
Fakfak, Papua
Kita semua pasti ingin menjadi pribadi yang
sempurna dalam kehidupan. Menjadi pribadi yang sempurna dalam kehidupan
berkeluarga. Menjadi sempurna dalam hidup bertetangga. Menjadi sempurna dalam
pekerjaan dan pofesi kita masing-masing. Pertanyaannya adalah bagaimana kita
menjadi pribadi yang sempurna?
Menjadi pribadi yang sempurna tentu tidak
gampang. Tetapi kita pasti bisa menjadi pribadi yang sempurna. Cara sederhana
yang bisa kita buat untuk menjadi pribadi yang sempurna adalah menyadari akan
segala potensi atau kualitas yang baik dalam diri kita yang telah diberikan
Tuhan dan cobalah untuk mengembangkannya. Selain itu, kita juga dapat belajar
dari tokoh-tokoh tertentu sebagai pedoman dan motivasi bagi kita untuk
membentuk pribadi yang sempurna.
Dalam refleksi kali ini, saya mengajak kita
untuk belajar dari St. Yusuf, suami St. Maria dalam membentuk pribadi yang
sempurna dalam kehidupan kita. Kualitas-kualitas apa saja yang dimiliki St.
Yusuf dalam membentuk pribadi yang sempurna?
1. Kualitas pertama yang dimiliki St. Yusuf adalah pribadi yang tulus hati dalam cinta.
Dalam ayat ke 19, dikatakan bahwa St. Yusuf adalah seorang yang tulus hati. Tulus
berarti memandang orang lain tanpa prasangka. Tulus berarti bersikap jujur,
terbuka, dan apa adanya. St.
Yusuf menunjukkan teladan yang baik dalam mencintai pasangannya. Ketulusan cintanya dapat dibuktikan
saat ia mengetahui Maria sedang mengandung ketika
bertunangan dengannya, ia tidak berbuat sesuatu yang mencemarkan nama baik dan
membuat malu Maria. Karena ia sadar, hukum pada saat itu dapat membuat Maria
dilempari batu hingga mati akibat hamil
bukan dari orang yang menjadi tunangan atau suaminya. Sikap ketulusan hati dalam mencintai
mengajarkan kita untuk berani menerima orang lain apa adanya.
Kita
semua diajak untuk mencintai siapa saja dengan tulus hati. Sikap tulus hati
berarti berani menerima orang lain dengan segala keterbatasan dan
kekurangannya. Seorang suami harus berani menerima kekurangan istrinya dengan
hati yang terbuka, demikian juga sebaliknya. Orang tua juga terbuka menerima
kekurangan dan keterbatasan anak-anaknya, demikian juga sebaliknya. Seorang
pemimpin dan bawahan harus bisa saling terbuka dan jujur akan kekurangan
masing-masing dalam pekerjaan.
Sikap
tulus hati dalam mencintai orang lain, bukan berarti kita menyetujui atau
mendukung kekurangan atau keterbatasan orang lain atau membuka ruang untuk
mendukung orang lain terus mengembangkan kekurangannya. Justru sikap tulus hati
membantu kita dan orang yang kita cintai terarah kepada perubahan kehidupan
yang lebih baik. Dengan mencinta secara tulus, orang akan sadar akan segala
kekurangan dan keterbatasannya. Kemudian mengambil langkah untuk sebuah
perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Karena itu, mari kita belajar mencintai
siapa saja, pasangan hidup kita, anak-anak kita, orang tua kita, pemimpin kita,
bawahan kita dengan tulus hati. Jika itu terjadi maka kita telah menjadi
pribadi yang sempurna.
2. Kualitas kedua yang dimiliki St. Yusuf adalah tidak menceritakan kejelekkan orang lain.
Jika kita mencoba untuk mendalami suasana batin St. Yusuf ketika mendapati
Maria hamil karena kuasa Roh Kudus, pasti saja ada rasa kecewa, kaget, bahkan
mungkin putus asa. Apalagi Maria hamil diluar nikah tanpa bersetubuh dengan St.
Yusuf. Pada masa itu bahkan pada masa sekarang, kehamilan diluar nikah adalah
sebuah suasana yang tidak menyenangkan. Apalagi hamil karena perbuatan orang
lain. Memang kehamilan Maria bukan karena Maria selingkuh dengan laki-laki lain
melainkan karena karya Allah bagi kehidupan Maria untuk keselamatan umat
manusia. Yusuf bisa saja menceritakan kekurangan yang ada, tetapi justru
sebaliknya, Yusuf menyimpan segala perkara dalam hatinya dan mencoba melihat
karya dan maksud Allah dalam diri Maria, istrinya. Yusuf tidak mau mencemarkan
nama baik Maria dimuka umum. Sebuah keteguhan hati yang luar biasa untuk
menerima kekurangan yang terjadi.
Belajar
dari St. Yusuf, kita diajak untuk tidak menceritakan atau menjelek-jelekan
orang lain karena kekurangan dan keterbatasannya. Dalam hidup, kita pasti
bertemu dengan pengalaman dimana kita saling menjelekkan dan mengungkit sifat
buruk orang lain. Kenyataan dunia sekarang ini, orang lebih gampang melihat dan
mengingat kejelekkan dan keburukan orang lain ketimbang sisi positif dari
pribadi orang itu. Lebih parah lagi, segala kebaikan seseorang bisa hilang
sekejap hanya karena satu kesalahan kecil.
Sikap
hidup yang selalu diwarnai dengan memandang orang lain jelek atau negatif
adalah sikap hidup yang tidak produktif bahkan tanpa kita sadari, kita mematikan
perkembangan hidup kita ke arah yang lebih dewasa. Orang yang hidupnya
memandang negative orang lain, justru menunjukkan mandegnya perkembangan
pribadi dan menutup ruang bagi cinta kepada Allah dan sesama. Sikap yang tepat
ketika bertemu dengan kekurangan dan keterbatasan orang lain adalah membantunya
untuk berubah dan bukan menggosipkan kejelekkan orang lain dimana-mana. Tidak
jarang ada suami atau isteri menceritakan kekurangan pasangannya kepada orang
lain. Tidak jarang juga ada orang tua menceritakan kekurangan anak kandungnya
kepada orang lain dan sebaliknya, anak menceritakan kejelekkan orang tua kepada
orang lain. Tidak jarang pula, pemimpin/bawahan menceritakan kekurangan teman
sekerjanya kepada orang lain. Sungguh sedih melihat perilaku seperti ini.
Karena sikap ini adalah sikap orang-orang yang menutup cinta bagi orang lain.
Karena itu, jika kita ingin menjadi sempurna belajarlah untuk tidak
menceritakan kekurangan orang lain. Apa yang menjadi kekurangan orang lain kita
jadikan sarana atau kesempatan untuk mengungkapkan perhatian dan cinta kepada
orang tersebut. Saudara yang terkasih dalam Tuhan, kesempurnaan hidup tidak
terletak dari berapa banyak kita tahu dan menceritakan kekuranan orang lain
melainkan seberapa mampu kita untuk melihat kebaikan dari setiap perbuatan
orang lain dan membantunya untuk berubah dari keterbatasannya. Jika itu terjadi
maka kita telah belajar menjadi pribadi yang sempurna.
3.
Kualitas ketiga yang dimiliki St. Yusuf adalah tenang dalam menghadapi masalah. Siapakah diantara kita yang
tidak pernah mendapat masalah dalam kehidupan? Semua pasti pernah mengalami
masalah dalam hidupnya dengan berbagai bentuk. Masalah karena biaya kehidupan
yang semakin tinggi, masalah karena pasangan yang tidak setia. Masalah karena
orang tua berpisah. Masalah karena anak yang terlibat dalam pergaulan bebas.
Masalah di tempat kerja dan sebagainya. Mari kita belajar dari St. Yusuf dengan
sikap tenangnya dalam menghadapi masalah.
Ketenangan ini
jelas dalam sikapnya menanggapi masalah dengan bijaksana dan kemudian
menentukan langkah selanjutnya tanpa mengorbankan kepentingan orang lain.
Keputusan Yusuf untuk mengambil Maria yang sudah mengandung sebagai isterinya
menandakan sikap batin yang matang, mantap dan tidak takut mengambil resiko. Ia
tidak bereaksi secara emosional, tetapi merenungkannya dalam ketenangan dan
kesabaran. Keputusan itulah yang telah membawa kehidupan baru dan keselamatan
bagi seluruh umat manusia.
Kita sering
berhadapan dengan masalah. Sayangnya tidak setiap orang mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Tak heran bila masalah itu bertumpuk dan tak
terselesaikan. Penyebabnya antara lain karena kita sendiri kadang-kadang tidak
mau mengambil langkah berani untuk mengatasinya, tidak mau mengambil resiko dan
tidak terbiasa menyelesaikan masalah dengan sikap tenang nan bijaksana. Kita
sukar bertindak bijaksana, karena sukar mengendalikan emosi. Banyak pasangan
suami isteri mengakhiri perkawinan dengan perceraian, karena sukar menguasai
emosi, sehingga hal sepele dibesar-besarkan.
Baiklah kita mengadopsi cara Yusuf
dalam menghadapi masalah. Hadapi masalah dengan berpikir jernih dalam
ketenangan. Ketenangan akan membuat Anda mengalami masalah Anda dan tidak lari
dari kesulitan. Kalau kita belajar memberikan tempat pada ketenangan, maka kita
akan mampu mendengarkan suara Tuhan. Tuhan berbisik setiap saat, namun hanya
dalam hati yang tenang, hati yang jernih dan pasrah, orang mampu mendengarkan
suara bisikan Tuhan itu. Maka, hilangkanlah hati yang kacau balau, yang dipenuhi
dengan emosi, supaya bisikan Tuhan dapat kita tangkap dengan jernih, dan kita
bisa bertindak dengan tepat.
4. Kualitas keempat yang dimiliki St. Yusuf adalah taat kepada perintah Tuhan. Yusuf
adalah orang yang begitu taat dan setia dalam mendengarkan dan melaksanakan
perintah Allah dalam hidupnya. Hal ini Nampak dalam sikap hidupnya yang tidak
ada tawar menawar dengan apa yang dikehendaki Tuhan baginya. Taat berarti
tunduk, patuh. Sikap taat menuntut tindakan lanjut dari apa yang diperintahkan.
Ketaatan Yusuf kepada Allah adalah kekuatan terbesar dalam hidupnya.
Pertunangannya
dengan Maria tentu membahagiakan hatinya. Namun tiba-tiba dunia terasa runtuh!
Maria hamil! Padahal mereka belum hidup sebagai suami istri. Tentu ia kecewa
karena merasa dikhianati. Meski mencintai Maria, pasti sulit bagi dia untuk
memercayai cerita Maria. Lalu apa yang harus dia lakukan? Hukum yang berlaku
saat itu bagi para pelaku zinah adalah dilempari batu hingga mati. Ini bisa
menjadi alasan untuk memutuskan pertunangan. Namun Yusuf memilih untuk
memutuskan pertunangan diam-diam. Ia tidak ingin mempermalukan Maria di depan
umum. Tanpa disangka, malaikat menemui dia di dalam mimpi dan berbicara secara
khusus mengenai kehamilan Maria. Respons Yusuf sungguh berbeda dari sikapnya
sebelumnya. Ia bersedia menaati Allah dan menjadikan Maria sebagai istrinya.
Dipakai
Allah sebagai alat untuk menggenapkan rencana-Nya seringkali hanya terdengar
indah di telinga, tetapi berat untuk dijalankan. Mengapa? Karena harus
mengorbankan hasrat, harapan, atau ambisi kita. Bahkan mungkin kita merasa
bahwa harga diri kita pun ikut dirampas. Namun kita harus mengimani bahwa
kehendak Allah atas kita merupakan yang terbaik. Kita juga harus menyadari
bahwa dilibatkan Allah ke dalam penggenapan rencana-Nya merupakan hal yang
sungguh mulia bagi kita. Mulia walaupun kita tidak mendapat penghormatan dari
orang lain. Bila kita tetap merasa berat menjalankan kehendak Tuhan, mintalah
Tuhan menerangi hati dan pikiran kita, serta menguatkan kita.
Marilah kita menyadari bahwa setiap
orang dilahirkan dalam bentuk apapun dari rahim seorang wanita adalah karena
kehendak Allah. Tiap orang membawa dalam dunia sebuah pesan dari Tuhan bagi
kehidupannya dan orang lain. Karena itu, marilah kita memberikan waktu yang
banyak untuk menyadari bahwa kita hidup di dunia ini karena ada maksud dari
Tuhan. Cobalah melihat kembali apa yang Tuhan kehendaki bagi kita untuk dunia
ini. Kesempurnaan hidup kita bukan terletak pada apa yang kita kehendaki
melainkan karena kehendak Tuhan bagi kita. Ingatlah bahwa Tuhan telah memilih
kita sejak dari rahim ibu kita untuk menjadi pewarta cinta Tuhan. Sama seperti
St. Yusuf yang dipakai Tuhan, kita juga dipakai Tuhan bagi kehidupan sekarang.
Mari kita belajar menjadi pribadi yang sempurna bagi dunia ini dengan
belajar mencintai siapa saja secara tulus, tidak menceritakan
kekurangan/kesalahan orang lain, selalu tenang dalam menghadapi masalah dan
taat kepada perintah Tuhan. Jika dalam hidup kita, kita mampu melaksanakannya
maka kita telah menjadi sempurna bagi sesama dan Tuhan. Semua itu bisa kita
ciptakan dan lakukan kalau kita
memberikan waktu lebih untuk ada bersama Tuhan. Ingatlah menjadi pribadi yang
sempurna tidaklah gampang. Kalau kita berjalan sendiri pasti akan susah tetapi
kalau kita berjalan bersama dengan Tuhan maka segala kesulitan akan terasa
mudah dan ringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar